URGENSI PENDIDIKAN ANTIKORUPSI SEHINGGA DIMASUKKAN DALAM KURIKULUM
Oleh : Herlina Apriyanti, Harminah Safitri, Ika Novia Erlina.
Oleh : Herlina Apriyanti, Harminah Safitri, Ika Novia Erlina.
Sejumlah studi, laporan, ataupun tulisan mengenai
tindak korupsi memang telah banyak dilakukan dengan berbagai perspektif dan
sudut pandang. Namun sayangnya masih jauh dari upaya pendidikan dan
pemberdayaan masyarakat dalam pemberantasan korupsi.
Korupsi
dalam bahasa Latin: corruptio
dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak,
menggoyahkan, memutarbalik, menyogok. Secara harfiah, korupsi adalah perilaku
pejabat publik, baik politikus|politisi maupun pegawai negeri,
yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka
yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan
kepada mereka.
Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi
politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua
bentuk pemerintah|pemerintahan rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya
korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh
dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi
berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi,
yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri, dimana pura-pura bertindak
jujur pun tidak ada sama sekali.
Kondisi yang mendukung munculnya korupsi:
a) Konsentrasi
kekuasan di pengambil keputusan yang tidak bertanggung jawab langsung kepada
rakyat, seperti yang sering terlihat di rezim-rezim yang bukan demokratik.
c) Kampanye-kampanye
politik yang mahal, dengan pengeluaran lebih besar dari pendanaan politik yang
normal.
d) Proyek yang
melibatkan uang rakyat dalam jumlah besar.
e) Lingkungan
tertutup yang mementingkan diri sendiri dan jaringan "teman lama".
i) Gaji pegawai
pemerintah yang sangat kecil.
Saat ini Indonesia sedang mengalami masa transisi
menuju masyarakat demokratis dan beradab, yang membuka kesempatan luas bagi
masyarakat untuk berpartisipasi membangun iklim kehidupan bernegara dan
berbangsa yang lebih baik dan terbebas dari korupsi. Inilah momen yang tepat
untuk mengembangkan kajian, pendidikan dan pemberdayaan masyarakat dalam
pemberantasan budaya KKN.
Gunnar Mydral dengan tegas menyatakan bahwa, mereka
yang memungkinkan terjadinya korupsi disebut juga koruptor.
Islam, dalam kitab sucinya, mengatakan dengan tegas
bahwa, baik yang menyuap (al-râsyi) dan yang disuap (al-murtâsyi), keduanya
bersalah, dan karenanya masuk neraka.
Bila korupsi sudah sedemikian menggurita dalam
birokrasi negara dan telah membudaya dalam kehidupan masyarakat, maka yang
paling dirugikan adalah rakyat banyak. Karena sejumlah besar uang yang
dikorupsi, hakikatnya adalah uang rakyat. Dan di antara lapisan masyarakat yang
paling dirugikan adalah mereka yang jauh dari akses kekuasaan.
Upaya mendidik, memberdayakan dan membangkitkan
kesadaran mengenai betapa krusialnya persoalan korupsi jelas merupakan sesuatu
yang mendesak dilakukan. Karena Warga masyarakat yang sadar dan memiliki
pemahaman yang cukup tentang korupsi adalah landasan yang sangat pengting bagi
usaha menekan derasnya arus korupsi.
upaya
pemberantasan korupsi bisa dilakukan dengan pendidikan pedagogik, bahkan formal
sekalipun. Ini bisa dilakukan di antaranya dengan cara-cara berikut:
1. Memasukkan diskursus anti-korupsi dalam pendidikan formal maupun
informal.
2. Menggagas Fiqih Korupsi (pemahaman keagamaan yang anti dan tidak
2. Menggagas Fiqih Korupsi (pemahaman keagamaan yang anti dan tidak
mentolerir korupsi dalam segala bentuknya).
Dampak Negatif
Korupsi
1)
Demokrasi
Korupsi
menunjukan tantangan serius terhadap pembangunan. Di dalam dunia politik,
korupsi mempersulit demokrasi dan tata
pemerintahan yang baik (good governance) dengan cara menghancurkan
proses formal. Korupsi di pemilihan umum dan di badan legislatif mengurangi
akuntabilitas dan perwakilan di pembentukan kebijaksanaan; korupsi di sistem
pengadilan menghentikan ketertiban hukum; dan korupsi di pemerintahan publik
menghasilkan ketidak-seimbangan dalam pelayanan masyarakat. Secara umum,
korupsi mengkikis kemampuan institusi dari pemerintah, karena pengabaian
prosedur, penyedotan sumber daya, dan pejabat diangkat atau dinaikan jabatan
bukan karena prestasi. Pada saat yang bersamaan, korupsi mempersulit legitimasi
pemerintahan dan nilai demokrasi seperti kepercayaan dan toleransi.
2)
Ekonomi
Korupsi juga
mempersulit pembangunan ekonomi dengan
membuat distorsi dan ketidak efisienan yang tinggi. Dalam sektor private,
korupsi meningkatkan ongkos niaga karena kerugian dari pembayaran ilegal, ongkos
manajemen dalam negosiasi dengan pejabat korup, dan risiko pembatalan
perjanjian atau karena penyelidikan. Walaupun ada yang menyatakan bahwa korupsi
mengurangi ongkos (niaga) dengan mempermudah birokrasi, konsensus yang baru
muncul berkesimpulan bahwa ketersediaan sogokan menyebabkan pejabat untuk
membuat aturan-aturan baru dan hambatan baru. Dimana korupsi menyebabkan
inflasi ongkos niaga, korupsi juga mengacaukan "lapangan perniagaan".
Perusahaan yang memiliki koneksi dilindungi dari persaingan dan sebagai
hasilnya mempertahankan perusahaan-perusahaan yang tidak efisien.
Korupsi
menimbulkan distorsi (kekacauan) di dalam sektor publik dengan mengalihkan investasi publik ke proyek-proyek
masyarakat yang mana sogokan dan upah tersedia lebih banyak. Pejabat mungkin
menambah kompleksitas proyek masyarakat untuk menyembunyikan praktek korupsi,
yang akhirnya menghasilkan lebih banyak kekacauan. Korupsi juga mengurangi
pemenuhan syarat-syarat keamanan bangunan, lingkungan hidup, atau aturan-aturan
lain. Korupsi juga mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan dan
infrastruktur; dan menambahkan tekanan-tekanan terhadap anggaran pemerintah.
Para pakar
ekonomi memberikan pendapat bahwa salah satu faktor keterbelakangan pembangunan ekonomi di Afrika dan Asia, terutama
di Afrika, adalah korupsi yang berbentuk penagihan sewa yang menyebabkan perpindahan penanaman modal (capital
investment) ke luar negeri, bukannya diinvestasikan ke dalam negeri (maka
adanya ejekan yang sering benar bahwa ada diktator Afrika yang memiliki
rekening bank di Swiss). Berbeda
sekali dengan diktator Asia, seperti Soeharto yang sering
mengambil satu potongan dari semuanya (meminta sogok), namun lebih memberikan
kondisi untuk pembangunan, melalui investasi infrastruktur, ketertiban hukum,
dan lain-lain. Pakar dari Universitas Massachussetts
memperkirakan dari tahun 1970 sampai 1996, pelarian modal dari 30 negara sub-Sahara berjumlah US $187 triliun, melebihi dari jumlah utang
luar negeri mereka sendiri. [1] (Hasilnya,
dalam artian pembangunan (atau kurangnya pembangunan) telah dibuatkan modelnya
dalam satu teori oleh ekonomis Mancur Olson). Dalam kasus Afrika, salah satu faktornya adalah
ketidak-stabilan politik, dan juga kenyataan bahwa pemerintahan baru sering
menyegel aset-aset pemerintah lama yang sering didapat dari korupsi. Ini
memberi dorongan bagi para pejabat untuk menumpuk kekayaan mereka di luar
negeri, di luar jangkauan dari ekspropriasi di masa depan.
3)
Kesejahteraan umum negara
Korupsi
politis ada di banyak negara, dan memberikan ancaman besar bagi warga
negaranya. Korupsi politis berarti kebijaksanaan pemerintah sering
menguntungkan pemberi sogok, bukannya rakyat luas. Satu contoh lagi adalah
bagaimana politikus membuat
peraturan yang melindungi perusahaan besar, namun merugikan
perusahaan-perusahaan kecil (SME). Politikus-politikus "pro-bisnis" ini
hanya mengembalikan pertolongan kepada perusahaan besar yang memberikan
sumbangan besar kepada kampanye pemilu mereka.
Kurikulum Pendidikan Antikorupsi
Salah
satu kekeliruan upaya pemberantasan korupsi selama ini adalah terlalu fokus
pada upaya menindak para koruptor. Sedikit sekali perhatian pada upaya pencegahan
korupsi. Salah satunya lewat upaya pendidikan antikorupsi. Terakhir, era
reformasi melahirkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang selain diserahi
tugas penindakan, juga tugas pencegahan tindak pidana korupsi, seperti
pendidikan antikorupsi kepada masyarakat. Pendidikan anti korupsi diperlukan
sebagai bagian integral untuk meluruskan demokrasi yang mengalami disfungsi.
Menyadari
hal ini, tersembul gagasan memasukkan materi antikorupsi dalam kurikulum
pendidikan tingkat SD hingga SMU, sebagai bentuk nyata pendidikan antikorupsi.
Tujuan pendidikan antikorupsi adalah menanamkan pemahaman dan perilaku
antikorupsi.
Masyarakat
berharap pendidikan antikorupsi memberikan pengetahuan seputar korupsi dan
bahayanya, mencetak daya manusia yang berkesadaran tinggi terhadap hukum, serta
memutus mata rantai korupsi.
Lebih
dari itu, masyarakat berkeinginan agar upaya pendidikan antikorupsi berjalan
paralel dengan upaya lainnya, yakni maksimalisasi penegakan hukum, fungsi
pengawasan yang ketat, sosialiasi dan kampanye gerakan antikorupsi secara
berkala dan berkesinambungan, dan menghilangkan praktik korupsi dalam
birokrasi.
Pokok Bahasan dalam Mata
Ajaran
Pendidikan
antikorupsi mestinya tidak menjadi satu mata pelajaran tersendiri, sebab hal
ini malah akan menyusahkan anak didik. Saat ini peserta didik sudah demikian
sesak dengan melimpahnya mata pelajaran yang harus dipelajari dan diujikan.
Dikhawatirkan anak didik akan terjebak dalam kewajiban mempelajari materi
kurikulum antikorupsi. Bisa jadi yang akan muncul adalah kebencian pada mata
pelajaran antikorupsi. Bukannya pemahaman dan kesadaran antikorupsi.
Pakar
pendidikan Arief Rachman menyatakan tidak tepat bila pendidikan antikorupsi
menjadi satu mata pelajaran khusus. Alasannya, karena siswa sekolah mulai SD,
SMP, hingga SMU sudah terbebani sekian banyak mata pelajaran. Dari segi
pemerintah, menurut Arief Rachman, akan berbuntut pada kesulitan-kesulitan,
seperti pengadaan buku-buku antikorupsi dan repotnya mencari guru antikorupsi.
Menyikapi
kesulitan tadi, pendidikan antikorupsi, menurut Arief Rachman, lebih tepat
dijadikan pokok bahasan dalam mata pelajaran tertentu. Sebuah usulan yang mesti
dicermati. Materi pendidikan antikorupsi nantinya bisa saja diselipkan dalam
mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKN). Pokok bahasan
mencakup kejujuran, kedisiplinan, kesederhanaan, dan daya juang. Selain itu,
juga nilai-nilai yang mengajarkan kebersamaan, menjunjung tinggi norma yang
ada, dan kesadaran hukum yang tinggi.
•
Pokok
Bahasan dalam Mata Ajaran
Pendidikan
antikorupsi bagi siswa SD, SMP, dan SMU akhirnya memang mengarah pada
pendidikan nilai. Pendidikan antikorupsi yang mendukung nilai-nilai kebaikan.
Pendidikan yang mendukung orientasi nilai, mengutip Franz Magnis Suseno, adalah
pendidikan yang membuat orang merasa malu apabila tergoda untuk melakukan
korupsi, dan marah bila ia menyaksikannya.
Menurut
Franz Magnis Suseno, ada tiga sikap moral fundamental yang akan membuat orang
menjadi kebal terhadap godaan korupsi: kejujuran, rasa keadilan, dan rasa
tanggung jawab. Jujur berarti berani menyatakan keyakinan pribadi. Menunjukkan
siapa dirinya. Kejujuran adalah modal dasar dalam kehidupan bersama.
Ketidakjujuran jelas akan menghancurkan komunitas bersama. Siswa perlu belajar
bahwa berlaku tidak jujur adalah sesuatu yang amat buruk.
Adil
berarti memenuhi hak orang lain dan mematuhi segala kewajiban yang mengikat
diri sendiri. Magnis mengatakan, bersikap baik tetapi melanggar keadilan, tidak
pernah baik. Keadilan adalah tiket menuju kebaikan.
Tanggung
jawab berarti teguh hingga terlaksananya tugas. Tekun melaksanakan kewajiban
sampai tuntas. Misalnya, siswa diberi tanggung jawab mengelola dana kegiatan
olahraga di sekolahnya. Rasa tanggung jawab siswa terlihat ketika dana dipakai
seoptimal mungkin menyukseskan kegiatan olahraga. Menurut Magnis, pengembangan
rasa tanggung jawab adalah bagian terpenting dalam pendidikan anak menuju
kedewasaan.
Warung
Kejujuran
Materi
antikorupsi memang bisa kita selipkan sebagai pokok bahasan dalam mata
pelajaran tertentu. Pendidikan antikorupsi jelas bukan cuma berkutat pada
pemberian wawasan dan pemahaman. Pendidikan antikorupsi tidak berhenti pada
penanaman nilai-nilai. Lebih dari itu, pendidikan antikorupsi menyentuh pula
ranah afektif dan psikomotorik. Membentuk sikap dan perilaku antikorupsi pada
siswa. Menuju penghayatan dan pengamalan nilai-nilai antikorupsi. Menurut Hartshone dan May, kurang ada hubungan pendidikan budi pekerti
dengan tingkah laku.
Mencermati
hal tersebut, KPK gencar mempromosikan dibentuknya warung kejujuran di setiap
sekolah. Warung kejujuran adalah warung yang menjual makanan kecil dan minuman.
Warung kejujuran tidak memiliki penjual. Warung yang tidak dijaga. Makanan atau
minuman dipajang dalam warung. Dalam warung tersedia kotak uang, yang berguna
menampung pembayaran dari siswa yang membeli makanan atau minuman. Bila ada kembalian,
siswa mengambil dan menghitung sendiri uang kembalian dari dalam kotak
tersebut.
Melalui
warung kejujuran siswa belajar berperilaku jujur. Siswa belajar bersikap taat
dan patuh, ketika tidak ada orang yang mengawasi. Belajar jujur pada diri
sendiri. Intinya, inilah sebuah pendidikan antikorupsi yang langsung menyentuh
domain afektif dan psikomotorik. Kemudian, dalam konteks pendidikan
antikorupsi, tatacara pengajaran tradisional mestinya dihilangkan. Siswa bukan
obyek, siswa bukan kertas putih yang bisa ditulis apa saja, siswa bukan botol
kosong, di mana siswa diisi dengan segala macam informasi dan nasihat, dan
setelah itu dituntut mengeluarkannya kembali.
Bukan
pendekatan seperti itu yang dibutuhkan. Pendekatannya berwujud penghargaan atas
pendapat siswa guna merangsang kemampuan intelektual anak: keingintahuan, sikap
kritis, berani berpendapat. Karena itu, pola pendidikan antikorupsi seyogianya
bersifat terbuka, dialogis, dan diskursif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar